Berita Humas: Direktur Pendidikan Agama Islam Kemeterian Agama Republik Indonesia, Dr. H. Imam Syafe’i, M. Pd. Membuka acara Sarasehan Nasional Pendidikan Agama Islam yang dilaksanakan di Auditorium UIN Mataram pada hari Sabtu 30 desember 2017.  Kegiatan direncanakan  akan berlangsung selama satu hari tersebut akan diisi oleh narasumber dari kemenag RI dan juga dari UIN Mataram.
Ketua panitia sarasehan Nasional Pendidikan Agama Islam Dr. Abdul Quddus, MA. Dalam laporanya menyapaikan bahwa kegiatan ini merupakan agenda spesial akhir tahun. Kegiatan ini terlaksana berkat kerjasama FITK UIN Mataram dengan Kementerian Agama RI, yang dihajatkan dalam rangka optimalisasi peran pendidikan agama islam dalam merawat keberagaman dan memantapkan keberagaman. Menghadirkan peserta 400 orang terdiri dari Ikatan Dosen PAI Indonesia, mengudang perwakilan guru dan pengawas PAI serta dosen UIN Mataram.
Dekan FITK Dr. Hj. Lubna dalam sambutanya menyampaikan apresiasi kepada panitia, narasumber dan peserta yang telah menyempatkan hadir dalam acara bergengsi ini.  Yang tak kalah penting juga penghargaan yang luar biasa kepada direktur PAIS dan Bapak rektor UIN mataram yang telah mendukung secara penuh sehingga acara ini dapat terlaksana dengan baik.
Direktur PAIS mendapat giliran pertama untuk mengisi materi pada sesi pertama dengan materi arah kebijakan pengembangan pendidikan agama islam yang dipandu oleh moderator Dr. Abdul Quddus, MA., kemudian sesi kedua diisi oleh guru besar UIN Mataram yaitu  Profesor Dr. H. Mutawali. Prof. Dr.Suprapto dan Dr. Hj. Nurul Yakin, M. Pd., dengan moderator Dr. Syamsul Arifin,  sedangkan sesi ketiga diisi oleh Prof. Dr. H. Nashuddin, M. Pd., Dr. H. Masnun dan Dr. Hj. Lubna. M. Pd. Dengan moderator Dr. Ahmad Asyari, M. Pd.
Rektor UIN Mataram Prof. Dr. H. Mutawali dalam sambutanya menyampaikan ucapan terimakasih kepada Direktur PAIS Kemenag RI yang telah mempercayakan kegiatan sarasehan nasional ini dilaksanakan di UIN Mataram.  Kegiatan ini sangatlah tepat sebagai pengobat rindu, dalam kondisi kegelisahan para tenaga pendidik dan kependidikan akhir-akhir ini sebagaimana yang dilansir oleh media, seakan-akan guru PAI khususnya yang berada di sekolah umum dan terlebih lagi guru swasta yang terkatung-katung belum terbayarkan tunjangan dan hak-hak lainnya, dengan pertimbangan kendala tekhnis administrasi dan sebagainya.
Prof. Mutawali mengungkapkan bahwa guru merupakan komponen pendidikan yang paling utama, atas dasar itu, peningkatan pendidikan selalu berawal dari peningkatan mutu guru agar menjadi tenaga profesional yang ditandai oleh keunggulan kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Untuk menjadi guru agama Islam yang profesional, selain harus memiliki kompetensi profesional tersebut juga harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Berbagai upaya untuk peningkatkan mutu guru yang demikian itu telah banyak dilakukan, seperti melalui program sertifikasi, pendidikan profesi keguruan, pelatihan, dan lain sebagainya. Namun hingga kini upaya-upaya tersebut masih sering dikeluhkan, karena dianggap belum berjalan secara efektif.
Mengahiri sambutanya, Prof. Mutawali mengaskan bahwa, kerja guru bukanlah sekedar kerja fisik, seperti petani atau tukang, melainkan kerja fisik dan non-fisik yang Optimalisais Peran Guru multi-dimensional. Seorang guru bukan hanya bertugas membina daya cipta intelektual, melainkan juga daya rasa emosional dan karsa dalam bentuk keterampilan.
Direktur PAIS dalam materinya menyampaikan bahwa peningkatan mutu guru PAI  merupakan salah satu program yang mendapatkan prioritas dari Pemerintah. Hal ini dilakukan dengan alasan, antara lain karena  peningkatan mutu guru Pendidikan Agama Islam terkait langsung dengan peningkatan mutu gurunya. Dengan kata lain, bahwa peningkatan mutu pendidikan Agama Islam, hanya akan berhasil apabila didukung oleh keberadaan gurunya yang berkualitas.
Di antara program yang dipandang strategis untuk peningkatan mutu guru PAI adalah dengan program sertifikasi. Yaitu  sebuah program yang diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme guru pada kompetensi akademik, pedagogik, kepribadian dan sosialnya dengan berdasarkan pada penilaian autentik berupa portofolio yang didukung oleh data-data fisik yang lengkap, valid dan autentik pula.
Lebih lanjut beliau tegaskan bahwa, menurut laporan setelah dilakukan evaluasi oleh lembaga yang otoritatif, ternyata program tersebut belum memiliki pengaruh yang siginifikan terhadap peningkatan mutu guru. Program tersebut baru berhasil meningkatkan kesejahteraan ekonomi para guru, seperti memperbaiki rumah tempat tinggal, memiliki kendaraan roda empat, dan menunaikan ibadah haji atau umrah. Namun program ini terus dilanjutkan, dengan cara meningkatkan metode dan pendekatan program sertifikasi tersebut. Wallohua’lam (Adita@humasuin)