RAKYAT RINDU PEMIMPIN YANG 3M (Merakyat, Mengatasi Kemiskinan dan Memajukan Pendidikan
Oleh: Khairatin Shoalihah, Mahasiswa Jurusan Tadris Fisika, FTK UIN Mataram, Juara 1 Lomba Opini Presiden 2018
Berita Humas: Ada dua permasalahan pembangunan utama yang pada saat ini dihadapi oleh Negara Indonesia. Kedua masalah itu adalah kemiskinan yang diderita oleh sebagian besar rakyat Indonesia, dan kurangnya pemerataan kualitas pendidikan. Dikutip dari kompas.com (Selasa, 31 Juli 2018), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya penurunan angka kemiskinan per Maret 2018. Angka kemiskinan mencapai 9,8 persen, hal ini merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah Indonesia kemiskinan berada di level sigle digit.
Pada Maret 2018, persentasenya sebesar 10,64 persen. Jumlah orang yang masuk kategori miskin pun menurun dari 27,7 juta jiwa pada Maret 2017 menjadi 25,95 juta jiwa pada Maret 2018. Meski data tersebut menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia tahun ini sudah menurun, tetapi fakta di lapangan menyatakan bahwa jumlah orang miskin lebih banyak dari hasil statistik BPS. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa masih banyak anak-anak bangsa yang tidak dapat merasakan duduk dibangku sekolah karena faktor perekonomian, sehingga menimbulkan perbedaan dan gejolak ekonomi antara si kaya dan si miskin.
Jika dilihat dari fenomena di atas, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia, karena itu setiap warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender.
Pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan akan membuat warga Negara Indonesia memiliki kecakapan hidup (life skills) sehingga mendorong tegaknya pembangunan manusia seutuhnya serta membentuk masyarakat madani dan modern yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 Ayat (3) menyatakan, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Pemerintah Indonesia tahun ini mengalokasikan dana pendidikan sebesar Rp 444,13 trilliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Dari jumlah itu, terbanyak mendapat jatah anggaran pendidikan adalah Kementerian Agama (Kemenag) sebesar 52,68 trilliun, antara lain untuk membayar gaji para guru agama di pusat maupun daerah. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2017 tentang Rincian APBN 2018, pemerintah mengalokasikan Rp 444,13 trilliun untuk pendidikan dari total anggaran belanja senilai Rp 2.220 trilliun di tahun 2018. (liputan6.com. 8 Januari 2018) Anggaran yang dialokasikan tersebut belum mampu dirasakan manfaatnya secara optimal, buktinya pada tahun 2017 sejumlah daerah mulai memberlakukan kebijakan baru yang memperbolehkan pihak sekolah untuk kembali menarik iuran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).
Kebijakan ini diberlakukan pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pemberlakuan kembali SPP ini merupakan dampak dari pengambilalihan pengelolaan SMA dan SMK. Sebelumnya, pengelolaan SMA dan SMK menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota, kini diambil alih oleh pemerintah provinsi. Kebijakan ini sangat dikeluhkan oleh orang tua yang finansialnya sangat lemah, seharusnya pemerintah Indonesia menghapus pungutan tersebut karena sesuai dengan kebijakan UUD Tahun 1945 bahwa warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Untuk mengatasi masalah pendidikan tersebut, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistematik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme, yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Kedua, solusi teknis yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Siswa yang berprestasi namun kurang mampu diberikan penghargaan untuk dibebaskan dari biaya sekolah, dan memberikan tunjangan kepada guru-guru khususnya guru yang bertugas di daerah terpencil.
Sedangkan solusi secara khususnya terdiri dari dua yaitu: Pertama, memberikan subsidi pendidikan bagi sekolah swasta agar sekolah-sekolah swasta mampu menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan memberikan layanan pendidikan yang dapat dijangkau masyarakat luas. Kedua, menerapkan alternatif layanan pendidikan, khususnya bagi masyarakat kurang beruntung (masyarakat miskin, berpindah-pindah, terisolasi, terasing, minoritas, dan di daerah bermasalah, termasuk anak jalanan), seperti SD dan MI kecil satu guru, guru kunjung atau sistem tutorial, SD Pamong, kelas jauh, serta sekolah-sekolah yang terbuka.
Pembangunan di Indonesia lebih didasarkan pada pendekatan pragmatis dan ad hoc serta mengadopsi model pembangunan neoliberalisme-kapitalis yang terbukti lebih banyak menghasilkan ketahanan nasional yang rapuh. Solusi yang dapat diberikan oleh penulis adalah dengan menerapkan model pembangunan yang berbasiskan ideologi terbuka untuk mentransformasikan Pancasila dalam kehidupan sosial melalui sumbangan agama publik dan IPTEK diyakini akan menciptakan ketahanan nasional yang tangguh, sehingga masalah kemiskinan dapat teratasi secara optimal. Meskipun ideologi terbuka ini diterapkan oleh Negara barat, tetapi bedanya mereka hanya menyumbangkan oleh IPTEK karena dasarnya sekularisme.
Seiring dengan pergantian presiden dari masa ke masa masalah kemiskinan dan pendidikan belum mampu teratasi secara optimal, rakyat sangat mengharapkan bahwa ada pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah tersebut. Mereka membutuhkan pemimpin yang jiwanya merakyat, karena aspirasi dan suara rakyat sangat penting untuk didengarkan demi kemajuan bangsa ini. Wallahu A’lam (Khairatin Shoalihah, Adita@humasuin)